Suryadi Sunuri: Lawan Imperialisme Cendikia Barat dengan Tradisi Keilmuan Lokal

Pekanbaru, 19 Agustus 2023
Program Magister Pendidikan Bahasa Indonesia memulai kuliah perdana dengan kegiatan syarahan Visiting Professor of World Class University, dengan tema “Integration of Malay Culture in Educational Research”, di Gedung M Diah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Riau, Sabtu, 19 Agustus 2023. Profesor perdana yang dihadiri dari Leiden Universitas, Dr. Suryadi. Ahli naskah ini yang sudah berdomisili lebih dari 25 tahun di Belanda menyatakan perlu melawan imperialisme Cendikia Barat dengan membangun tradisi keilmuan lokal.

Istilah “Imperialisme Cendekia Barat” yang dia kutip dari berita dalam website Melayu Online mengenai seminar terbuka kajian Melayu yang bertajuk “Problem Eurosentrisme dalam Kajian Melayu: Mencari Perspektif Alternatif” yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Department of Malay Studies, National University of Singapore (NUS), Pusat Studi Asia Tenggara (PSSAT) UGM dan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM).

Wacana itu terbias lagi dalam workshop internasional Pemikiran Jawa-Melayu yang baru-baru ini diadakan di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 15 Juli 2009. Adalah Prof. Dr. Syed Farid al-Attas dari National University of Singapore (NUS), salah seorang pemakalah dalam seminar mengenai problem Eurosentrisme itu, yang terus menyuarakan dan mengingatkan tentang dampak buruk imperialisme cendekia Barat terhadap masyarakat Melayu. Tidak sekali itu saja beliau melancarkan kritik itu di forum ilmiah nasional, regional dan internasional. “Saya masih ingat, beliau juga membahas topik tentang penjajahan intelektual Barat itu dalam satu lokakarya mengenai bahasa dan sastra Melayu di Universitas Leiden akhir Maret 2008.”

Imperialisme cendekia Barat sudah sejak beberapa dekade yang lalu disuarakan oleh beberapa ilmuwan non Eropa. Yang paling lantang bersuara soal ini adalah almarhum Edward Said (Jerusalem, 1 November 1935 New York, 25 September 2003), ilmuwan berdarah Palestina yang tinggal di Amerika (mengajar di Universitas Columbia). Di dalam bukunya yang sangat monumental, Orientalism (1978), Said mengeritik keras tradisi keilmuan Barat dalam studi mengenai Islam dan masyarakat Arab. Ia antara lain menegaskan bahwa banyak studi Barat mengenai peradaban Islam lebih merupakan bakat intelektualisme yang bersifat politis ketimbang studi yang objektif–sebuah bentuk rasisme dan alat dominasi bagi imperialis.

Pandangan Edward Said itu didukung oleh banyak ilmuwan, tapi tak luput pula dari berbagai kritikan: antara lain yang paling vokal mengeritiknya adalah Bernard Lewis. Tentu saja tak mungkin saya uraikan secara rinci dalam artikel yang pendek ini pokok-pokok pemikiran Edward Said dalam Orientalism. (Bagi yang ingin menyimak lebih jauh dapat melihat, misalnya: http://en.wikipedia. org/wiki/Edward_Said#Orientalism; dikunjungi 17 Agustus 2023). Memang tidak dapat dimungkiri bahwa Western scholarship dalam membedah kebudayaan dan masyarakat Timur mengandung subjektivitas dan bias.

Para sarjana Barat melakukan penelitian sosial dan kebudayaan di dunia Melayu bukan meninggalkan hati mereka di rumah dan bukan pula tak ingat kepada sejarah peradaban kontinen Eropa yang berwarna kolonialisme dan tradisi kekristenan yang pekat itu, warisan dari nenek moyang mereka. Hal itu berlangsung sepanjang zaman, bahkan sampai sekarang. Dunia Melayu, sebagai bagian dari dunia yang pernah dijajah oleh orang Eropa, pun tidak lepas darinya. (01)
Tulisan ini dapat dibaca pada rubrik akademik “guest lecturer” web ini.